🌌 Budaya Flexing di Media Sosial: Bahaya Hilangnya Qanaah dalam Hidup

                                                Kaligrafi Arab kata “قناعة” bercahaya emas, dengan latar kontras gedung-gedung gelap dan mobil mewah di sisi kiri, serta siluet seorang manusia berjalan menuju cahaya qanaah di sisi kanan


🌱 Pendahuluan: Fenomena Pamer di Era Digital

Media sosial kini bukan hanya ruang berbagi kabar, melainkan panggung untuk unjuk diri. Kita terbiasa melihat unggahan liburan mewah, mobil baru, rumah megah, bahkan sekadar secangkir kopi dengan latar kafe estetik.

Sebagian hanya berbagi cerita. Tapi tak jarang, ada yang terjebak dalam budaya flexing — pamer harta, status, atau pencapaian demi pengakuan.

Pertanyaannya: apakah salah berbagi kebahagiaan? Tidak. Namun, ketika berbagi berubah menjadi ajang pamer, hati bisa terjerumus pada penyakit riya’ dan hilangnya qanaah.

🌿 “Bukan kemiskinan yang paling menakutkan, melainkan hati yang tak pernah merasa cukup.”


❓ Mengapa Flexing Menjadi Budaya?

Fenomena flexing lahir dari beberapa sebab:

  1. Haus Pengakuan – manusia ingin dilihat, dipuji, dan diakui.

  2. Tekanan Sosial – melihat orang lain pamer, kita pun terdorong melakukan hal sama.

  3. Kekosongan Makna – ketika hidup terasa hampa, pencitraan menjadi pelarian.

Kita lupa bahwa di balik foto sempurna, ada hati yang bisa rapuh. Dan di balik pujian, ada dosa yang mengintai.


📖 Pandangan Islam tentang Flexing

Rasulullah ﷺ bersabda:

🌿 “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meski sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)

Flexing, meski terlihat sederhana, bisa menumbuhkan rasa sombong dalam hati. Sedikit demi sedikit, pamer melahirkan kebiasaan, dan kebiasaan melahirkan karakter.

Allah pun mengingatkan:

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18)


🌸 Kisah Mini: Influencer yang Menemukan Qanaah

Seorang influencer terkenal gemar membagikan gaya hidup mewah. Ribuan orang mengaguminya, tapi hatinya merasa kosong. Ia lelah mempertahankan citra, lelah mengejar likes, lelah membandingkan diri.

Hingga suatu hari, ia mendengar ceramah tentang qanaah. Kalimat sederhana itu mengetuk hatinya:

“Qanaah bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi merasa cukup dengan apa yang Allah titipkan.”

Sejak itu, ia mulai mengurangi postingan pamer, lebih banyak berbagi inspirasi. Hidupnya terasa ringan, hatinya lebih damai. Ia menemukan bahwa qanaah adalah kemewahan sejati.


🌌 Bahaya Flexing terhadap Jiwa dan Masyarakat

Budaya flexing tidak hanya berbahaya bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang lain.

  • Membakar rasa iri → teman merasa minder atau sakit hati.

  • Mengikis qanaah → hati sulit bersyukur karena selalu membandingkan.

  • Menumbuhkan gaya hidup palsu → orang berhutang demi tampak kaya.

  • Mengundang riya’ → amal dan rezeki yang semestinya jadi nikmat berubah jadi bahan pamer.

Lebih jauh, flexing juga memicu ketidakadilan sosial. Banyak laporan di berbagai kota di dunia menunjukkan bahwa budaya pamer melahirkan kecemburuan sosial, bahkan gejolak masyarakat. Orang kecil yang terus-menerus disuguhi tontonan kemewahan bisa kehilangan rasa percaya diri, merasa terasing, bahkan menumbuhkan rasa marah.

Karena itu, tulisan sederhana sekalipun dapat menjadi penyejuk: mengingatkan kita untuk meredam budaya pamer yang menyulut api kecemburuan, agar masyarakat tetap damai.

🌿 “Flexing menyalakan api iri, qanaah menyalakan cahaya damai.”


🌿 Qanaah: Obat bagi Penyakit Flexing

Qanaah adalah rasa cukup yang lahir dari iman. Ia membuat kita tenang meski sedikit, bahagia meski sederhana.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qanaah dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Qanaah bukan berarti berhenti berusaha. Ia justru menata hati: bekerja keras iya, tapi tidak rakus. Berbagi iya, tapi tidak pamer. Bersyukur iya, meski sederhana.


✅ Checklist Menjaga Qanaah di Era Digital

  • Batasi unggahan yang berpotensi riya’ atau pamer.

  • Perbanyak postingan inspirasi, ilmu, atau kebaikan.

  • Latih diri untuk bersyukur setiap hari, sekecil apa pun nikmatnya.

  • Ingat bahwa setiap rezeki adalah titipan, bukan milik mutlak.

  • Jangan bandingkan hidupmu dengan tampilan media sosial orang lain.


🌟 Quote Puitis

🌿 “Flexing melahirkan haus, qanaah melahirkan damai.”


❓ FAQ Seputar Flexing dan Qanaah

Q: Apakah flexing sama dengan syukur?
A: Tidak. Syukur adalah mengakui nikmat Allah dengan hati, lisan, dan amal. Flexing cenderung ingin dipuji manusia.

Q: Apakah boleh berbagi rezeki di media sosial?
A: Boleh, bila niatnya menginspirasi kebaikan. Namun, perlu hati-hati agar tidak berubah menjadi pamer.

Q: Bagaimana cara melatih qanaah di era konsumtif?
A: Mulai dengan menulis jurnal syukur harian, membatasi scroll media sosial, dan banyak bergaul dengan orang sederhana.


🙏 Doa Singkat

اللَّهُمَّ اجعل قلوبنا قانعة برزقك، شاكرة لنعمك، بعيدة عن الرياء، قريبة من رضاك.

Allahumma aj‘al qulūbanā qāni‘atan birizqik, syākiratan li ni‘mik, ba‘īdatan ‘anir-riyā’, qarībah min riḍāk.

Ya Allah, jadikan hati kami qanaah dengan rezeki-Mu, pandai bersyukur atas nikmat-Mu, jauh dari riya’, dan dekat dengan ridha-Mu.


🌅 Penutup Reflektif

Flexing hanya memberi kebanggaan sesaat, tapi qanaah memberi ketenangan abadi. Media sosial seharusnya menjadi sarana kebaikan, bukan panggung kesombongan.

Mari kita latih diri untuk tidak silau dengan tampilan luar, tetapi fokus pada makna dalam: hati yang cukup, jiwa yang bersyukur, dan hidup yang penuh berkah.

Semoga tulisan sederhana ini menjadi pengingat, dan menjadi ikhtiar kecil kita untuk meredakan api kecemburuan sosial yang ditimbulkan budaya flexing.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


📚 Referensi:

  1. QS. Luqman: 18

  2. HR. Muslim

  3. HR. Bukhari & Muslim




Baca juga:



Komentar

Postingan populer dari blog ini

🕌Keutamaan Membaca Shalawat Nabi ﷺ

✨ Syekh Yusuf al-Makassari: Ulama Pejuang dari Sulawesi yang Harumnya Menembus Dunia

🕌 Makna Tauhid dalam Kehidupan Modern: Kembali ke Poros yang Tak Pernah Bergeser