Fenomena Flexing di Media Sosial: Bahaya Hilangnya Qanaah dalam Hidup
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, teladan sempurna dalam kesederhanaan dan kelapangan hati.
Di zaman serba pamer, kesederhanaan terasa asing. Banyak dari kita—terutama generasi muda—terjebak dalam budaya flexing yang menjadikan hidup seperti panggung pertunjukan. Segalanya harus ditampilkan, semua harus terlihat sempurna. Dari outfit of the day hingga kopi pagi, semuanya diabadikan. Tapi, benarkah semua itu mencerminkan isi hati dan kualitas hidup kita? Ataukah hanya bungkus yang tampak indah namun kosong di dalam?
🚫 Ketika Pencitraan Mengalahkan Ketulusan
Pernahkah kita bertanya: "Untuk siapa sebenarnya semua ini dilakukan?"
Flexing bukan sekadar tren. Ia telah menjelma menjadi tolok ukur semu dalam menilai kesuksesan. Semakin sering terlihat di tempat mewah, semakin dianggap keren. Padahal, bisa jadi semua itu hasil cicilan yang memberatkan. Demi tampilan estetik, nilai etik pun kerap diabaikan. Kenyataan dipoles demi validasi digital. Segalanya tampak mewah, tetapi hati justru terasa resah.
"Tiga hal yang membinasakan: kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang bangga terhadap dirinya sendiri."
(HR. Thabrani)
Seorang teman pernah berkata, “Kalau belum diunggah, rasanya belum hidup.” Kalimat itu terdengar ringan, tapi menyimpan ironi. Flexing membuka pintu riya, menanam iri, dan menjerumuskan hati. Dalam diam, kita mulai lelah mempertahankan pencitraan. Namun tetap dilakukan—karena sudah menjadi kebiasaan. Seolah-olah eksistensi hanya sah selama kamera menyala dan pujian berdatangan. Padahal, yang kita butuhkan adalah makna, bukan sekadar visual.
🌿 Qanaah: Kemewahan yang Tak Terlihat
Masihkah kita mampu berbahagia dengan hal-hal sederhana?
Di tengah sorotan media sosial, satu nilai Islam perlahan tergeser dari panggung: qanaah, atau merasa cukup. Konsep ini jarang muncul di linimasa karena sulit dikemas secara sensasional.
"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (qanaah)."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Qanaah adalah kemerdekaan batin. Saat dunia sibuk menampilkan siapa yang paling wah, Islam mengajarkan kita untuk bersyukur, bahkan atas hal yang tampak sederhana. Namun, rasa syukur memang jarang viral—apalagi tanpa visual dan musik latar.
🔁 Menolak Arus, Menemukan Arah
Kini saatnya bertanya: "Apakah semua ini membawa ketenangan, atau justru memperlebar jurang kekosongan?"
Kita bisa mulai dengan:
Mengurangi kebiasaan membandingkan hidup melalui media sosial.
Mengubah keinginan untuk pamer menjadi semangat berbagi manfaat.
Menyisihkan rezeki untuk sedekah, bukan hanya untuk gaya hidup.
Menjaga diri dari budaya flexing bukan berarti anti kemajuan. Justru ini bagian dari upaya memulihkan jiwa dari jebakan dunia. Kita tidak harus menjadi ekstremis minimalis, tetapi juga jangan menjadi budak likes.
Keseimbangan bukan soal menjauh dari dunia, melainkan mengelolanya dengan bijak. Kita bisa tetap tampil menarik, sukses secara materi, dan aktif bermedia sosial—selama tidak kehilangan arah dan menjadikan pengakuan manusia sebagai tujuan utama.
❤️ Kembali ke Inti: Hidup dengan Hati, Bukan Citra Diri
Pada akhirnya, yang dinilai Allah bukanlah unggahan terbaik di Instagram, melainkan amal terbaik di dunia nyata. Flexing mungkin populer, tetapi qanaah adalah jalan sunyi yang mengantarkan pada kedamaian dan keberkahan.
Mari renungkan bersama:
Di tengah dunia yang serba cepat, kita butuh jeda untuk memperlambat, menyadari arah, dan bertanya: "Untuk siapa semua ini?"
🌱 Solusinya? Dekatkan diri pada ajaran Islam yang menyeimbangkan dunia dan akhirat. Bangun kebiasaan bersyukur, perbaiki niat dalam setiap tindakan, dan jadikan media sosial sebagai alat kebaikan—bukan jebakan pencitraan.
Kita memang tidak bisa langsung lepas dari pengaruh zaman, tapi kita selalu punya pilihan untuk tidak hanyut di dalamnya. Keseimbangan adalah kunci agar kita tetap waras, sadar arah, dan tak kehilangan jati diri dalam gemerlap dunia.
🕊️ Jalan Sunyi Menuju Ridha Ilahi
📌 Apa yang Bisa Kita Lakukan Hari Ini?
Coba mulai hari ini: puasa media sosial selama beberapa jam, tulis tiga hal yang kamu syukuri tanpa membagikannya ke siapa pun, atau beri sedekah secara anonim. Tindakan kecil ini mungkin tak terlihat, tapi besar nilainya di sisi Allah. Karena sesungguhnya, hidup bukan tentang apa yang kita tampilkan, tapi tentang apa yang kita tanam di hati.
Mulailah dari hal kecil: simpan momen untuk diri sendiri, bukan untuk ditampilkan.
Ucapkan alhamdulillah tanpa harus direkam.
Dan tanyakan kembali pada diri—“Apakah ini benar-benar perlu diperlihatkan, atau cukup untuk disyukuri?”
Mari hidup bukan untuk ditonton, tapi untuk direnungkan. Bukan demi tampil sempurna, tapi demi menjadi pribadi yang utuh.
Semoga Allah memudahkan kita dalam membersihkan niat, memperbaiki arah, dan menjalani hidup dengan cukup—tanpa harus tampil berlebihan. Karena sejatinya, ketenangan tidak datang dari pujian manusia, tapi dari ridha Allah.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Baca juga:
- Ketika yang Salah Jadi Biasa, yang Benar Malah Dicerca!
- Menjadikan Ramadan Setiap Hari: Cara Islam Menjaga Spirit Ibadah Sepanjang Tahun
Komentar
Posting Komentar