🌿 Jadilah Problem Solver, Bukan Penyulut Konflik

 

Ilustrasi dua remaja, satu berpikir positif, satu terlihat kesal, dengan teks "Menjadi Problem Solver, Bukan Trouble Maker"

Adab Lisan dan Etika Kritik dalam Islam

“Kritik tanpa kontribusi hanyalah bising yang dibungkus dalih.”


بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh

Dalam dunia hari ini, di mana semua orang bisa bersuara, tantangan sebenarnya bukan lagi soal berbicara — tapi bagaimana cara kita berbicara.


🗣️ Ketika Suara Jadi Luka, Bukan Cahaya

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini tidak hanya petuah klasik — tapi kunci etika komunikasi di era digital.

Kini, semua orang punya akses bicara: status, komentar, forum, utas panjang. Tapi sayangnya, sedikit yang belajar adab sebelum berbicara.

📉 Menurut Daniel Goleman, emosi negatif menyebar tiga kali lebih cepat daripada emosi positif.
Satu kalimat bisa menjadi trauma. Satu sindiran bisa memutus silaturahmi.


🌍 Dunia Sudah Cukup Gaduh — Jangan Tambah Luka

Kita hidup di tengah badai informasi. Setiap detik, jutaan kata diketik. Tapi…

  • Berapa banyak yang benar-benar menyembuhkan?

  • Berapa yang malah memanaskan suasana?

“Banyak orang pandai berkata. Tapi orang bijak tahu kapan berkata.”

Diam bukan kelemahan. Justru, dalam Islam, diam yang tepat adalah bentuk penguasaan diri.

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyampaikan bahwa menjaga lisan termasuk tanda keimanan yang matang. Seperti kata beliau:

“Diam lebih baik kecuali ada manfaat jelas dari berbicara.”


🕊️ Lisan: Anugerah yang Bisa Menjadi Fitnah

Allah tidak menciptakan lisan semata-mata untuk bicara — tapi juga untuk menahan diri.

“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.”
(QS. Al-Isra’: 53)

Rasulullah ﷺ pernah diam saat dihina. Ketika ditanya para sahabat, beliau bersabda:

“Jika aku membalas, malaikat akan pergi. Tapi jika aku diam, Allah yang membelaku.”
(HR. Ahmad)

Ini bukan kelemahan. Ini kekuatan ruhani yang lahir dari hati yang tenang.


💠 Kisah Rizky: Pintar, Tapi Belum Bijak

Rizky adalah mahasiswa cerdas, vokal, dan aktif mengkritik. Tapi suatu hari, seorang senior menegurnya:

“Kamu jago melihat celah, tapi belum mampu menambalnya.”

Ucapan itu membuat Rizky diam. Ia mulai belajar mendengar sebelum berbicara, menyaring kata-katanya, dan memilih waktu yang tepat.

Dari situ, ia belajar satu prinsip penting:

“Orang cerdas ingin didengar. Tapi orang bijak ingin dipahami.”


🧠 Kritik yang Bernyawa: Perspektif Psikologi dan Islam

Dalam komunikasi modern, kritik efektif punya dua elemen utama:

  • Empati

  • Usulan konkret

Harvard Business Review menyebut, kritik yang tidak dilandasi empati hanya akan menimbulkan resistensi, bukan perubahan.

Hal ini sejalan dengan kaidah ushul Islam:

“Tujuan dari amar ma’ruf nahi munkar adalah perbaikan, bukan penghinaan.”
(Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin)

📌 Maka, sebelum kita berbicara atau menulis kritik, tanyakan:

  • Apakah ini solusi… atau sekadar pelampiasan?

  • Apakah ini membimbing… atau menyudutkan?


📿 Etika Kritik dalam Islam: Mendidik, Bukan Menghakimi

Islam tidak melarang kritik. Tapi Islam menuntut kita menyampaikannya dengan hikmah, adab, dan kejujuran hati.

Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata:

“Lihatlah apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan.”

Imam Al-Ghazali pun menegaskan:

“Diam adalah bagian dari hikmah. Dan hikmah itu lahir dari hati yang bersih.”


Ciri Lisan yang Meneduhkan

  1. 🕊️ Niat memperbaiki, bukan menunjukkan kelebihan

  2. 🫱 Disampaikan setelah mendengar dan mendoakan

  3. 🔇 Tidak semua harus dikomentari — sebagian cukup ditahan

  4. 🫀 Menyentuh hati, bukan memanaskan emosi

  5. 🧎 Menjadikan kata sebagai pengingat, bukan penghakiman


🧭 Renungan Sebelum Mengetik atau Bicara

Tanyakan pada diri:

  • ❓ Sudahkah aku mendengar dengan utuh sebelum menilai?

  • ❓ Apakah ini akan memperbaiki… atau memperkeruh?

  • ❓ Apakah aku sedang ingin menolong… atau hanya melampiaskan?

  • ❓ Mampukah aku membantu diam-diam… tanpa menyindir terang-terangan?


💭 Refleksi Hari Ini

🌱 Apakah lisanku menjadi jembatan, atau justru jurang pemisah?
🌱 Apakah komentarku membawa ketenangan, atau menyalakan api tersembunyi?
🌱 Sudahkah aku memilih diam, saat diam lebih menyelamatkan?


🤲 Doa agar Lisan Menjadi Cahaya, Bukan Luka

اللَّهُمَّ اجْعَلْ لِسَانِي ذِكْرًا، وَكَلَامِي حِكْمَةً، وَصَمْتِي فِكْرَةً، وَاجْعَلْنِي مِنَ الَّذِينَ يُحِبُّهُمُ النَّاسُ لِهُدُوئِهِمْ، لَا لِصَوْتِهِمْ

"Ya Allah, jadikan lisanku penuh dzikir, ucapanku penuh hikmah, diamku penuh tafakur. Jadikan aku dicintai karena ketenanganku — bukan karena banyak bicaraku."


📌 Aksi Nyata Hari Ini

Sebelum:

  • Mengetik komentar,

  • Membalas pesan,

  • Mengunggah status…

🚦 Tunda 3 detik.
Tanyakan:

“Apakah ini menyejukkan… atau membakar?”

Karena kadang, satu kalimat tinggal lebih lama dari seribu permintaan maaf.


🕊️ Penutup: Lisan Itu Amanah, Bukan Pelampiasan

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa menjamin untukku antara dua rahangnya (lisan) dan dua kakinya (kemaluannya), maka aku jamin surga untuknya.”
(HR. Bukhari)

Jagalah lisan — bukan dengan membungkam, tapi dengan memilih: kapan, bagaimana, dan untuk apa ia digunakan.

Āmīn. 🤍


 Baca juga:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumayyah binti Khayyat & Keteguhan yang Menembus Langit

Suara Zainab: Keberanian Putri Ali yang Menggetarkan Kekuasaan

AI dalam Dakwah: Manfaat, Bahaya, dan Hikmah yang Harus Dijaga