Stempel Jalan Surga atau Simbol Kuasa?
Renungan tentang Kemanusiaan yang Terlupakan
“Rakyat tidak menuntut pelayanan yang sempurna. Mereka hanya ingin diperlakukan sebagai manusia.”
Pagi yang Panjang di Balik Loket
Pagi itu, antrean sudah mengular sejak Subuh. Warga berdiri sabar. Sebagian duduk diam, bersandar ke dinding. Di antara mereka, seorang ibu tua memeluk map plastik lusuh berisi berkas administrasi. Langkahnya pelan, tubuhnya renta. Tapi matanya menyimpan harapan—akan selembar surat yang katanya penting, agar ia bisa mendapat bantuan hidup.
Di balik kaca loket, seorang petugas duduk santai. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel. Sesekali ia tersenyum kecil—bukan kepada warga, tapi pada komentar di media sosial.
Tiba-tiba ia berdiri, mengambil stempel merah marun. Dengan gerak lamban namun sakral, ia menekannya ke selembar kertas. Tak ada sapa. Tak ada tanya. Hanya bunyi “cap!” sebagai tanda: seseorang diterima… atau ditolak.
Ketika Pelayanan Menjadi Bentuk Kekuasaan Kecil
Seorang pemuda maju dengan wajah cemas. Ia menyerahkan surat domisili lengkap—dengan tanda tangan RT dan RW.
“Pak, ini untuk keperluan administrasi kuliah,” ucapnya pelan.
Petugas menatap jam dinding. Lalu berkata singkat, “Sudah lewat jamnya. Kembali Senin.”
Padahal hari itu masih Kamis.
Pemuda itu datang dari desa, menempuh perjalanan dua jam. Uangnya pas-pasan. Orang tuanya menunggu kabar.
Namun semua itu dianggap bukan urusan kantor. Yang penting: jam kerja telah selesai. Ukuran kertas harus A4—bukan F4. Dan antrean ditutup, meski masih ada yang menunggu.
Pelayanan publik perlahan kehilangan makna. Ia berubah dari ladang pengabdian menjadi ladang prosedur. Rakyat harus tahu alur, tahu diri, dan paham batas waktu—meski tidak semua aturan pernah dijelaskan.
Gronroos (1990) pernah menyatakan: “Kualitas layanan bukan hanya soal kecepatan atau kelengkapan, tapi juga tentang rasa hormat yang diterima oleh pengguna.”
Dan sering kali, rasa itulah yang absen.
Apakah Ini yang Disebut Mengabdi?
Saya pun pernah mengalami hal serupa. Berdiri di depan loket berjam-jam. Di atas kepala saya, terpampang spanduk besar bertuliskan: "Melayani Sepenuh Hati." Tapi catnya pudar, dan maknanya ikut memudar.
Saya mulai bertanya dalam hati:
-
Apakah negara hadir melalui senyum para petugasnya?
-
Apakah jabatan adalah amanah… atau alasan untuk menunda?
-
Mengapa urusan sederhana harus melewati banyak meja dan tanda tangan?
-
Mengapa rakyat yang ingin dibantu justru harus diuji kesabarannya?
Tapi Jangan-Jangan… Aku Juga Pernah Menjadi Mereka
Malam ini, saya duduk diam. Mengulang semua kejadian itu di kepala. Lalu saya sadar—melayani bukan hanya tugas mereka di balik meja. Melayani adalah cermin bagi siapa pun yang memegang kuasa, sekecil apa pun bentuknya.
Saya bukan petugas kelurahan. Tapi…
-
Berapa kali saya mempersulit orang lain?
-
Berapa kali saya bersembunyi di balik alasan "aturan", padahal hanya tak ingin repot?
-
Berapa kali saya duduk di kursi kecil kekuasaan—di rumah, di kantor, di komunitas—dan lupa bahwa setiap kemudahan yang bisa saya berikan adalah bentuk ibadah?
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin adalah yang dicintai rakyatnya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyatnya.”
(HR. Muslim)
Kita semua punya wilayah pelayanan—entah sebagai orang tua, guru, atasan, panitia, atau sahabat. Dan rasa berkuasa itu bisa mengerdilkan hati… jika kita tidak belajar menjaga nurani.
Penutup: Pelayanan yang Lahir dari Hati
Barangkali, stempel itu bukan masalah.
Barangkali, antrean bisa dimaklumi.
Tapi wajah yang tak menyapa, suara yang tak ramah, dan hati yang tak peduli—itulah yang menyakitkan.
Rakyat tidak menuntut pelayanan yang sempurna.
Mereka hanya ingin dihargai. Dipahami. Diperlakukan sebagai manusia.
Dan pada akhirnya, kita semua sedang diuji dengan pertanyaan yang sama:
Apakah masih ada pelayanan… di dalam hati kita?
Doa Penutup
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي لَيِّنًا، سَهْلًا، كَرِيمًا، وَلَا تَجْعَلْنِي مِنَ الَّذِينَ يَسْتَصْغِرُونَ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ تَكْلِيفٌ.
Ya Allah, jadikan aku pribadi yang lembut, mudah menolong, dan penuh kasih.
Jauhkan aku dari merasa lebih tinggi dari orang lain—seolah mereka hanya beban.
🌿 Catatan Akhir
Renungan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun.
Tapi untuk mengingatkan kita semua, bahwa pelayanan adalah salah satu jalan menuju ridha Allah—kalau dikerjakan dengan hati yang bersih.
Komentar
Posting Komentar