Layar Menyala, Hati Meredup
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, penuntun umat di tengah gelapnya zaman.
Di era modern ini, manusia hidup berdampingan dengan layar—dari ponsel hingga televisi. Setiap detik diperhatikan, setiap jeda diisi. Yang dulu jadi waktu untuk refleksi, kini tertutup notifikasi. Yang semestinya jadi ruang doa, sering tergeser oleh distraksi.
Tak sedikit dari kita merasa "terhubung" dengan dunia, namun kehilangan koneksi dengan diri dan Tuhan. Kita sibuk memperbarui status, tapi lupa memperbarui hati. Ini bukan sekadar tren sosial, melainkan sinyal peringatan spiritual.
Tulisan ini bukan untuk menggurui. Ia hadir sebagai cermin agar kita lebih jujur pada diri. Sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya: apakah layar yang menyala telah memadamkan cahaya hati?
📱 Cahaya Layar, Gelap di Dalam
Pagi-pagi, layar jadi salam pertama. Malam, layar pula yang terakhir disapa. Seolah shalat lima waktu diganti dengan lima jam screen time. Kita hafal urutan story Instagram, tapi bingung saat ditanya arti surat Al-Ikhlas. Absurditas ini tragis, namun dianggap biasa.
🌐 Era Digital: Terhubung Tapi Terasing
Ribuan followers, tapi siapa peduli saat kita menangis diam-diam? Bisa viral semalam, tapi tak tahu cara menyapa orang tua. Hubungan sosial menjadi artifisial. Kita sibuk membentuk citra ideal di media sosial, tapi lupa memperbaiki diri di hadapan Tuhan.
"Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat."
(HR. Tirmidzi)
Teknologi bukanlah dosa. Tapi jika segalanya berubah jadi hiburan tanpa henti, kita perlahan membunuh ruang kontemplasi yang paling hakiki.
👁️ Kisah Nyata: Bangun Tidur, Langsung Scroll
Aisyah, mahasiswi yang dulu aktif mengaji saat SMA, mulai kehilangan arah setelah masuk kuliah. Harinya dipenuhi konten, tren TikTok, dan notifikasi. Suatu malam, ia tersadar saat azan subuh terdengar—padahal belum tidur. Bukan karena tahajud, tapi karena drama Korea dan scroll tanpa henti.
"Aku kangen diriku yang dulu," katanya. "Yang bangun pagi langsung ambil wudhu, bukan HP."
Kisah Aisyah mencerminkan kita semua. Ini bukan soal salah atau benar, tapi soal arah. Dan saat hati terasa kering, mungkin itu alarm dari Allah untuk kembali.
💔 Gejala Hati yang Lowbat
Hampa di tengah keramaian
Menunduk ke layar, lupa menengadah ke langit
Ibadah jadi rutinitas tanpa rasa
Tak tahan sunyi, selalu butuh distraksi
Kita tak lagi mendengar suara hati. Kita lebih percaya notifikasi daripada intuisi. Mungkin hati kita bukan hilang, hanya tertutup oleh bising digital.
🔋 Menyalakan Hati Kembali
Langkah-langkah untuk recharge iman:
Luangkan waktu untuk merenung
Matikan layar. Dengarkan hati yang lama terabaikan.Kembalikan fokus pada yang hakiki
Shalat, tilawah, dzikir—bukan beban, tapi asupan ruhani.Batasi konten yang menumpulkan makna hidup
Jangan biarkan algoritma menentukan arah hidupmu.Nikmati keheningan
Karena dalam sunyi, sering kali Allah paling dekat.
"Ketahuilah bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad..."
(HR. Bukhari & Muslim)
🔄 Waktunya Reboot Hati
Kita tidak perlu anti-teknologi, tapi harus jadi tuan atas gawai, bukan budaknya. Jika tidak, kita akan terus melaju, tapi kehilangan arah. Terhibur, tapi tak pernah bahagia.
🧭 Introspeksi Diri
Sudah seberapa jauh kita dari Al-Qur’an? Seberapa sering trending topic mengalihkan perhatian dari kondisi iman? Apakah waktu kita lebih banyak untuk dunia maya daripada akhirat yang nyata?
🌱 Islam: Obat di Tengah Dunia yang Sibuk
Islam bukan hanya melarang. Ia menawarkan jalan pulang. Dalam dzikir, kita temukan ketenangan. Dalam tilawah, kita temukan arah. Dalam shalat, kita sembuhkan hati yang lelah.
✨ Jalan Kembali Menuju Cahaya
📌 Apa yang Bisa Kita Lakukan Hari Ini?
Coba hari ini: matikan notifikasi saat waktu shalat, baca satu ayat Qur’an sebelum menyentuh layar, atau ambil wudhu sebelum menyentuh ponsel. Kecil, tapi berdampak besar.
Mulailah dari hal sederhana:
Temui kembali sunyi yang meneduhkan. Dengarkan suara hati yang pelan. Bangun koneksi dengan Allah—bukan sekadar koneksi Wi-Fi.
Mari hidup bukan untuk sekadar terhubung, tapi untuk benar-benar hidup. Bukan demi eksistensi digital, tapi demi eksistensi spiritual.
"Hati itu hidup dengan dzikir, sebagaimana tanah hidup dengan air."
— Ibn Qayyim Al-Jawziyyah
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Semoga kita selalu diberi hidayah untuk menyalakan kembali hati di tengah gelombang dunia yang tak pernah berhenti.
Baca juga:
- Komunitas Tanpa Komunikasi: Ketika Rasa Aman Diganti Rasa Takut Salah
- Budaya dan Islam: Cara Bijak Menjaga Identitas Muslim di Tengah Tren Zaman
Komentar
Posting Komentar