🌌Jangan Hanya Terlihat Religius di Feed
Refleksi tentang Ikhlas di Era Digital
Pembuka
Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Di zaman media sosial, hampir setiap orang bisa menjadi “penceramah” dengan jari-jemarinya. Sekali klik, status atau foto kita bisa menjangkau ribuan orang. Bukan hal aneh jika banyak yang berlomba menampilkan citra terbaik—termasuk citra religius.
Namun, ada pertanyaan penting: apakah kita benar-benar religius di hadapan Allah, atau hanya terlihat religius di feed?
Allah ﷻ berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahfi: 110)
Ayat ini menegaskan: amal yang benar bukan sekadar terlihat, tapi dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah.
Fenomena: Religius yang Tampil di Layar
Hari ini kita melihat begitu banyak konten Islami di media sosial: kutipan ayat, hadits, kata bijak, hingga potret kegiatan ibadah. Fenomena ini tentu membawa kebaikan: banyak orang mengenal Islam melalui postingan dakwah yang sederhana.
Tetapi ada bahaya yang halus: riya digital. Kita mungkin tidak sadar, niat ibadah yang semula untuk Allah berubah menjadi demi “likes”, “followers”, atau “views”.
Rasulullah ﷺ memperingatkan:
“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya.”
(HR. Ahmad)
Riya tidak hanya di masjid atau majelis. Ia kini bisa hadir di layar ponsel.
Kisah Sahabat: Umar bin Khattab Menyembunyikan Amal
Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu dikenal tegas dan berwibawa. Namun, beliau juga dikenal sangat hati-hati dalam amal. Pernah suatu malam ia keluar rumah, lalu dilihat ada seorang fakir mendapat makanan. Belakangan baru diketahui, makanan itu ternyata berasal dari Umar sendiri yang mengantarkannya secara diam-diam.
Amal yang tersembunyi, tanpa sorotan kamera, justru lebih kuat nilainya di sisi Allah. Dari sini kita belajar: yang penting bukan siapa yang melihat, tetapi siapa yang menilai—dan itu hanya Allah.
Kisah Kontemporer: Hijrah Tanpa Kamera
Rina, seorang mahasiswi, pernah membagikan hampir semua aktivitas ibadahnya di media sosial: kajian, sedekah, bahkan tangis saat tahajud. Awalnya ia berniat menginspirasi, tetapi lama-lama ia gelisah. Setiap kali ibadah, pikirannya dipenuhi: “Bagus tidak kalau diposting?”
Hingga suatu hari, seorang guru mengingatkannya dengan lembut: “Cobalah lakukan ibadah tanpa kamera. Rasakan nikmatnya amal yang hanya engkau dan Allah yang tahu.”
Sejak itu, Rina memilih menyembunyikan sebagian besar ibadahnya. Ia tetap berbagi kebaikan, tapi lebih selektif. Hatinya lebih tenang, imannya lebih kokoh.
Bahaya Riya Digital
Beberapa bentuk riya modern yang patut kita waspadai:
-
📸 Memposting ibadah demi validasi → misalnya sedekah, tapi lebih fokus pada foto transfer.
-
🙏 Menulis status religius untuk citra → bukan karena benar-benar mau mengingat Allah.
-
🎥 Rekaman ibadah berlebihan → sampai lupa menjaga keikhlasan.
-
💬 Kutipan Islami tanpa pengamalan → indah di feed, tetapi kosong di hati.
Allah ﷻ berfirman:
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Ikhlas adalah ruh ibadah. Tanpanya, amal hanya menjadi rutinitas kosong.
Refleksi Batin
Mari kita bertanya pada diri sendiri:
-
Apakah aku shalat karena Allah, atau agar orang lain melihatku taat?
-
Apakah aku berbagi sedekah untuk membantu, atau untuk dipuji?
-
Apakah aku menulis kata-kata Islami untuk mengingatkan, atau sekadar agar terlihat baik?
Refleksi singkat:
-
Feed bisa indah, tapi hati yang ikhlas lebih berharga.
-
Kamera bisa merekam, tapi hanya Allah yang benar-benar menilai.
-
Amal bisa kecil, tapi keikhlasan membuatnya besar.
Quote Reflektif
✨ “Ikhlas tidak butuh kamera. Cukuplah Allah sebagai saksi.”
Langkah Praktis Menjaga Ikhlas di Era Digital
Agar kita tetap bisa berdakwah dan berbagi tanpa terjebak riya, beberapa langkah berikut bisa membantu:
-
Periksa niat sebelum posting → tanyakan: “Untuk Allah atau untuk pujian?”
-
Sembunyikan sebagian amal → biarkan ada ibadah yang hanya engkau dan Allah yang tahu.
-
Kurangi detail berlebihan → tidak semua sedekah atau ibadah perlu ditampilkan.
-
Gunakan kata “kita” bukan “aku” → ubah fokus dari diri ke pesan.
-
Jadikan postingan doa → tulis status yang menenangkan hati, bukan menaikkan citra.
-
Ingat mati → feed bisa hilang, amal ikhlas abadi.
-
Berguru pada ulama ikhlas → ikuti teladan mereka yang sederhana.
-
Latihan diam → sekali waktu, lakukan kebaikan tanpa jejak digital.
-
Dzikir istighfar → agar hati terus terjaga dari niat buruk.
-
Niatkan dakwah → bukan personal branding, tapi ajakan menuju Allah.
Pelajaran Abadi
-
Amal yang ikhlas lebih bernilai daripada seribu postingan.
-
Feed hanya terlihat sesaat, tapi catatan Allah kekal abadi.
-
Orang bisa terkagum dengan citra, tapi Allah menilai hati.
Refleksi Kehidupan
Sahabat, di era digital kita memang mudah terlihat religius. Tetapi Allah tidak melihat feed, Allah melihat hati.
Hidup ini singkat. Jangan habiskan untuk membangun citra. Bangunlah amal yang kekal.
Penutup
Mari kita jaga hati dalam beramal. Boleh berbagi, tapi utamakan ikhlas. Boleh menulis status Islami, tapi jangan hanya untuk citra.
Semoga Allah menjaga hati kita dari riya, menjadikan amal kita tulus karena-Nya, dan menerima setiap kebaikan kita yang besar maupun kecil.
Ya Allah, jadikan amal kami murni karena-Mu. Lindungi kami dari riya, dari haus pujian, dan dari keinginan terlihat baik di hadapan manusia. Jadikan kami hamba yang Engkau lihat indah dalam ikhlas, meski dunia tak mengenalnya. Āmīn.
Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Referensi
-
QS. Al-Kahfi: 110
-
QS. Al-Bayyinah: 5
-
QS. Al-Insan: 9
-
HR. Ahmad
-
HR. Bukhari-Muslim
Komentar
Posting Komentar