Antara Rutinitas dan Kesadaran
Menemukan Kembali Jiwa yang Hilang
🕌 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
“Ada hari-hari di mana kita hidup… tapi tak betul-betul hadir. Seperti tubuh yang berjalan, tapi ruhnya tertinggal di tempat lain.”
🌘 Kita Sibuk, Tapi Hampa
Pagi datang. Kita bangun dengan mata masih lengket, menyeduh kopi sambil membuka notifikasi. Lalu terburu-buru ke luar rumah. Pulang dalam diam. Lelah, makan, rebah… tidur.
Begitu terus. Hari demi hari. Seperti salinan template yang tak pernah berubah.
Pernahkah kamu merasa seperti itu? Tubuhmu aktif, tapi hatimu kosong. Kita bicara, tapi tidak mendengar. Kita makan, tapi tidak merasakan. Bahkan dalam ibadah... kadang hanya gerakan tanpa perjumpaan.
“Manusia bisa bertahan dalam penderitaan apa pun jika ia memiliki makna.”
— Viktor Frankl
Mungkin bukan hidup kita yang salah. Tapi cara kita menjalaninya—terlalu otomatis, terlalu terburu-buru, terlalu jauh dari kesadaran.
🌒 Saat Jiwa Menghilang Perlahan
Kesadaran tidak selalu hilang karena tragedi. Ia sering menghilang diam-diam, dibunuh oleh rutinitas yang terus berulang tanpa ruh.
Kita tersenyum karena sopan, bukan karena tulus. Kita berdoa karena jadwal, bukan karena rindu. Kita berbuat baik karena kebiasaan, bukan karena hati yang bergerak.
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Sebuah studi dari Harvard menunjukkan bahwa hampir 47% waktu sadar manusia dihabiskan dalam pikiran yang mengembara. Artinya, hampir separuh hidup kita tidak sungguh-sungguh kita alami.
Ini bukan sekadar soal fokus. Tapi tentang ruh yang absen dalam kehidupan.
🔁 Kembali ke Momen yang Hidup
Kesadaran tidak datang dari liburan mahal atau detoks digital. Ia hadir dari keberanian untuk berhenti—meski sejenak.
Coba hari ini: duduk tanpa gawai. Diam. Rasakan napasmu. Pandang wajah orang yang kau cintai dan benar-benar dengarkan. Ucapkan:
“Aku bersyukur masih bersamamu hari ini.”
Jon Kabat-Zinn, pelopor mindfulness modern, menyebut kesadaran sebagai hadir sepenuhnya tanpa menghakimi.
Dan dalam Islam, ini adalah khusyuk. Ini adalah muraqabah. Ini adalah hadirnya jiwa bersama Allah.
🕊️ Hadir Adalah Ibadah yang Sering Dilupakan
-
Kapan terakhir kali kamu benar-benar shalat dengan hati?
-
Kapan kamu memeluk seseorang bukan karena formalitas, tapi karena cinta?
-
Kapan kamu membaca Al-Qur’an lalu menangis… bukan karena sedih, tapi karena rindu?
Mungkin jawabannya: sudah lama. Tapi ada satu hal yang melegakan: tidak pernah ada kata terlambat untuk kembali.
Karena Allah tak menunggu kecepatan kita—Dia hanya menunggu kesungguhan niat kita.
“Hidup bukan tentang banyaknya gerakan. Tapi tentang makna di setiap langkah.”
📌 Tantangan Tiga Hari: Hadir Sepenuh Hati
✅ Hari Ini:
Luangkan 5 menit untuk duduk diam. Tanpa layar. Tanpa distraksi. Hanya kamu dan napasmu.
✅ Hari Kedua:
Hadiri satu momen dengan penuh kesadaran: makan tanpa gawai, berbicara tanpa menyela, sujud dengan hati.
✅ Hari Ketiga:
Ucapkan satu kalimat dengan sadar:
“Ya Allah, jangan biarkan aku hidup tanpaMu.”
📖 Penutup: Jalan Pulang Selalu Terbuka
Kadang jiwa kita tersesat bukan karena dosa besar, tapi karena terlalu sibuk menjadi manusia produktif… hingga lupa menjadi manusia yang hadir.
Tapi masih ada jalan pulang. Selalu.
Bahkan jika selama ini kita hidup seperti robot, cukup satu niat tulus untuk kembali.
Mungkin, jiwa kita sedang menunggu—di momen yang sunyi.
Di sana, ia ingin dipeluk. Dengan kesadaran yang utuh. Dan kehadiran yang penuh.
📚 Referensi:
-
Al-Qur’an, QS. Al-Bayyinah: 5
-
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning
-
Jon Kabat-Zinn, Wherever You Go, There You Are
-
Harvard Study of Wandering Mind, Killingsworth & Gilbert (2010)
-
Refleksi harian & kajian tafsir tematik kesadaran spiritual
🕌 Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Komentar
Posting Komentar