Aku Hanya Sharing… Tapi Ternyata Melukai
🌙 Prolog: Sebuah Niat Baik yang Terselip Luka
Pernahkah kau merasa sedang berbagi pelajaran hidup—
padahal diam-diam sedang membuka lembaran luka orang lain?
Pernahkah kau menyampaikan keprihatinan atas hidup seseorang—
tanpa pernah benar-benar menolongnya?
Hari ini aku duduk sendiri.
Bercermin.
Bertanya dalam hati:
Apakah semua yang kusebut "sharing" selama ini...
benar-benar bentuk kepedulian?
Atau hanya cara lain untuk bicara,
tanpa tanggung jawab untuk mendengarkan?
🍵 Saat Kepedulian Menjadi Pisau Tajam
Dulu aku mengira gibah hanya terjadi di warung kopi.
Di pojok majelis. Dalam suara bisik-bisik yang samar.
Tapi kini, aku sadar—
gibah bisa datang lewat kalimat paling manis.
"Kasihan ya si A... belakangan kelihatan banget dia lagi drop."
Aku mengira itu simpati.
Tapi kalau benar peduli,
kenapa kalimat itu tak pernah sampai ke telinga si A?
Kenapa hanya mampir ke telinga orang lain yang tak diminta mendengar?
🧘 Gibah yang Berbungkus Refleksi
“Dulu aku pernah disakiti oleh seseorang…”
“Ada satu orang yang mengkhianatiku, dan itu membuatku belajar banyak…”
Kalimat-kalimat itu terdengar puitis.
Spiritual. Dewasa.
Tapi sadarkah aku…
bahwa bisa jadi seseorang sedang diiris diam-diam oleh kata-kata bersayap?
Di balik kalimat reflektif itu,
ada luka yang tak pernah benar-benar kupulihkan.
Aku hidupkan kembali, bukan untuk sembuh—
tapi untuk dijadikan konten.
☕ Gibah Ilmiah dan Analitis
Kadang aku membungkusnya dengan istilah psikologi.
Mengutip teori—padahal hanya membaca ringkasan semalam.
"Menurutku si B itu avoidant banget. Mungkin ada trauma masa kecil..."
Aku menyebutnya observasi.
Padahal... siapa aku?
Bisakah aku menakar batin seseorang hanya dari jarak pandang satu-dua interaksi?
📱 Gibah Digital: Screenshot yang Menghancurkan
Yang paling sunyi adalah ini:
tangkapan layar.
Satu chat pribadi yang dilempar ke grup.
Satu story yang dijadikan bahan lelucon.
Satu caption yang jadi bahan diskusi di DM.
Kita menyebutnya lucu.
Padahal kita sedang menelanjangi seseorang
yang mungkin sedang berjuang sekuat tenaga untuk tetap berdiri.
🧠 Kenapa Gibah Itu Menyenangkan?
Mungkin karena membicarakan orang lain membuatku merasa lebih baik.
Lebih waras.
Lebih benar.
Lebih utuh.
Padahal bisa jadi, aku hanya sedang melarikan diri
dari sisi-sisi diriku yang belum selesai.
🕊️ Empati Sejati Bukan Bicara, Tapi Mendatangi
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Aku belajar…
diam bukan berarti tak peduli.
Terkadang, diam adalah bentuk kasih sayang tertinggi:
Menjaga nama baik orang lain
yang bahkan tak tahu sedang dibicarakan.
✍️ Renungan Penutup: Mungkin Ini Saatnya Menahan
Mungkin ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar.
Tapi tentang keberanian untuk berhenti.
Berhenti berbagi cerita yang tak layak dibagikan.
Berhenti melibatkan orang lain tanpa izin.
Berhenti mengaku peduli, jika hanya lewat kata-kata.
Mari aku belajar menahan.
Bukan hanya lisan,
tapi juga jemari.
Bukan hanya kalimat,
tapi juga niat.
Agar setiap cerita yang kubagi bukan membuka luka,
tapi menumbuhkan jiwa.
Agar setiap tulisan yang kutulis bukan sekadar terlihat bijak,
tapi benar-benar membawaku lebih dekat
pada kejujuran… dan kasih sayang sejati.
💭 Dan semoga Allah menjaga lisan, hati, dan tanganku—
agar tak menjadi sebab tergelincirnya orang lain… dan juga diriku sendiri.
Baca juga:
- Saat Dosa Tak Lagi Membuat Kita Takut
- Mengapa Dunia Salah Paham Tentang Islam?
- Mengapa Kita Selalu Merasa Kurang?
Komentar
Posting Komentar