✨ Kisah Hamzah Fansuri, Ulama dan Penyair Sufi dari Samudra Pasai
🌅 Senja di Aceh: Sebuah Awal
Angin laut dari barat berhembus lembut, membawa aroma asin dan suara ombak yang memecah di tepian pantai Aceh.
Seorang lelaki duduk di beranda kayu, pena di tangan, cahaya senja menimpa wajahnya yang teduh.
Di hadapannya terhampar selembar kertas yang lama kosong. Matanya terpejam sejenak, lalu ia menulis pelan — seakan setiap huruf lahir dari detak jantung yang sedang berzikir.
“Ya Allah... Engkau lebih dekat dari urat leherku,
tetapi mengapa hati ini masih jauh berkelana mencari-Mu?”
Begitulah cara Hamzah Fansuri berbicara dengan Tuhannya — melalui kata.
Ia bukan sekadar penyair, melainkan peziarah ruhani yang menjadikan bahasa sebagai jalan pulang.
Setiap puisinya adalah doa, setiap metaforanya adalah langkah menuju keheningan batin.
🌙 Menemukan Tuhan dalam Kata
Hamzah Fansuri lahir pada abad ke-16, di masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam — pusat perdagangan, ilmu, dan dakwah Islam di Asia Tenggara.
Aceh kala itu menjadi tempat bertemunya ulama dari Gujarat, Yaman, dan Mekkah. Namun di tengah hiruk pikuk pelabuhan dan majelis ilmu, Hamzah justru mencari sesuatu yang lebih sunyi: perjumpaan batin dengan Tuhan.
Ia sering menyendiri di tepi laut, menatap ombak yang tak pernah lelah datang dan pergi — seperti hati manusia yang terus bergelombang sebelum tenang di samudra Ilahi.
Dari perenungan itu lahirlah kesadaran bahwa Tuhan tidak jauh, tidak perlu dicari di langit atau di luar diri. Ia mengingat firman Allah:
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16)
Ayat itu bukan sekadar bacaan bagi Hamzah — melainkan getaran hidup di dadanya.
Ia menulis bukan untuk menjelaskan, melainkan untuk menyentuh; bukan untuk menafsirkan, tapi untuk menyembah dengan cara paling lembut: melalui bahasa.
📖 Ketika Puisi Menjadi Zikir
Dalam bait-bait puisinya, dunia fana menjadi cermin untuk mengenal hakikat.
Laut, perahu, ombak, dan pelayaran bukan sekadar imaji keindahan, tapi simbol perjalanan jiwa.
“Barang siapa mengenal dirinya, niscaya mengenal Tuhannya.”
Perahu adalah diri;
Laut adalah Tuhan;
Layar adalah niat yang membimbing perjalanan.
Menulis, bagi Hamzah, adalah cara menyelam ke dalam diri.
Ia menulis hingga kata-katanya bergetar seperti doa — seolah tintanya adalah air mata yang menetes di antara dua dunia: dunia kesadaran dan dunia kerinduan.
💔 Cinta yang Tak Dimengerti
Namun, tidak semua memahami bahasa cinta yang ia tulis.
Sebagian menuduhnya menyimpang karena puisinya berbicara tentang penyatuan hamba dengan Tuhan — konsep wahdatul wujud yang ia pahami dari tradisi tasawuf Ibn Arabi.
Bagi Hamzah, ia tidak meniadakan jarak antara manusia dan Tuhan, melainkan ingin melenyapkan ego yang memisahkan manusia dari cahaya-Nya.
“Apakah kata-kata ini terlalu berani? Ataukah dunia yang terlalu takut pada cinta?”
Tapi bagi Hamzah, cinta tak boleh ditakuti. Ia menulis terus, karena diam berarti memadamkan api yang telah Allah nyalakan di dalam hati.
Meski sebagian ulama sezamannya — termasuk Nuruddin ar-Raniri di masa kemudian — menolak pandangannya, kata-kata Hamzah tetap hidup, karena lahir dari niat yang jernih dan cinta yang dalam.
💡 Bahasa sebagai Jalan Pulang
Bagi Hamzah, kata adalah makhluk hidup — setiap hurufnya bernafas, setiap maknanya memantulkan cahaya Ilahi.
Ia percaya, bila seseorang menulis dengan hati yang mengenal Tuhan, maka setiap kata menjadi dzikir yang berjalan di bumi.
Berabad-abad kemudian, kata-katanya masih bergaung.
Tak ada yang tahu pasti di mana makamnya, tetapi puisi-puisinya telah menjadi makam yang hidup — tempat orang datang merenung, bukan berziarah pada jasad, melainkan pada makna.
“Tinta itu fana,
tapi cahaya yang ditulis tetap abadi.”
🌸 Refleksi untuk Kita
Kita mungkin tak lagi menulis dengan pena seperti Hamzah Fansuri,
tetapi setiap hari kita menulis dalam bentuk lain:
dalam kata yang kita ucapkan, dalam sikap yang kita tunjukkan,
dalam cara kita menatap dan menilai orang lain.
Pertanyaannya: apakah tulisan kehidupan kita lahir dari hati yang mengenal Tuhan, atau dari ego yang haus pengakuan?
Hamzah Fansuri mengingatkan bahwa kata adalah cermin hati,
dan hati yang bersujud akan menulis kebaikan tanpa sadar.
🪞 Cahaya yang Tak Padam
Kita hidup di zaman yang penuh suara, tapi miskin makna.
Banyak bicara, sedikit mendengar.
Banyak menulis, sedikit merenung.
Di tengah kebisingan informasi dan hiruk pikuk media sosial, pesan Hamzah menjadi semakin relevan:
bahwa menulis — dan berbicara — tanpa zikir di hati akan kehilangan arah.
Ia seakan berbisik dari tepi laut Aceh berabad-abad lalu:
“Tulislah dengan cinta, karena kata yang lahir dari hati yang menyembah tidak akan pernah mati.”
🌹 Renungan Penutup
Hamzah Fansuri telah lama pergi,
tapi jejak puisinya masih menuntun kita untuk melihat bahwa ilmu dan seni, kata dan doa,
semuanya bisa bersatu dalam satu tujuan: menemukan Tuhan dalam diri.
Mungkin inilah tugas kita hari ini:
bukan hanya menulis untuk dibaca manusia,
tetapi menulis agar didengar langit —
seperti Hamzah Fansuri menulis Tuhan di antara ombak dan cahaya senja Aceh.
📚 Referensi:
-
Al-Attas, Syed M. N. The Mysticism of Hamzah Fansuri
-
A. Hasjmy, Hamzah Fansuri: Penyair Sufi Aceh
-
Al-Qur’an, QS. Qaf [50]: 16
-
Catatan sejarah Kesultanan Aceh abad ke-16–17
Komentar
Posting Komentar