🌌Overthinking Dunia, Underfeeling Akhirat — Saatnya Bangunkan Hati!

Ilustrasi digital menampilkan siluet seseorang duduk merenung di persimpangan jalan. Jalan kiri penuh ikon dunia seperti uang, laptop, dan notifikasi media sosial, sedangkan jalan kanan menuju cahaya keemasan dengan masjid dan kaligrafi “Allah”, melambangkan pilihan antara mengejar dunia atau akhirat

                                                  

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh

Pernahkah kamu merasa hidup ini begitu bising? Notifikasi tak berhenti berdenting, deadline pekerjaan datang bertubi-tubi, pesan-pesan menumpuk, dan berita dunia tak pernah habis. Kepala terasa penuh, hati terasa sesak. Kita memikirkan semuanya… tapi anehnya, hati justru terasa kosong.

Kita sibuk memikirkan dunia, bahkan sering overthinking tentangnya, sementara underfeeling terhadap akhirat. Kita khawatir tentang apa kata orang, tetapi jarang resah tentang apa yang Allah catat.

Inilah realita banyak dari kita hari ini: pikiran penuh dunia, hati kosong akhirat.


Mengapa Kita Overthinking Dunia

Ada satu alasan sederhana namun mendalam: karena dunia terlihat nyata, akhirat terasa jauh.
Kita mudah tergoda oleh apa yang terlihat dan terasa. Pencapaian, karier, kekayaan, validasi orang lain — semuanya begitu dekat dan konkret.

Padahal Allah ﷻ sudah mengingatkan:

“Kalian mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan akhirat.”
(QS. Al-Qiyamah [75]: 20-21)

Kita lupa bahwa dunia adalah sementara, dan sebaliknya, akhiratlah yang abadi. Namun justru yang fana ini yang paling kita pikirkan.


Dunia yang Mengikat, Akhirat yang Terlupakan

Bayangkan sebuah perahu kecil yang berlabuh di dermaga. Perahu itu seharusnya berada di atas air, bukan diikat erat pada dermaga. Jika tali terlalu kuat, perahu tidak akan pernah melaut.

Begitulah kita dengan dunia. Seharusnya dunia ada di tangan, bukan mengikat hati. Ketika dunia merasuk ke dalam hati, kita sulit bergerak menuju akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim)

Kalimat ini sederhana, tapi jika direnungkan, dalam sekali maknanya. Dunia hanyalah penjara sementara — dan terlalu banyak memikirkannya hanya membuat kita lupa mempersiapkan kebebasan abadi di akhirat.


Gejala Underfeeling Akhirat

Mari tanyakan pada diri sendiri dengan jujur:

  • Kapan terakhir kali hati kita bergetar saat mendengar ayat Al-Qur’an?

  • Kapan terakhir kali kita menangis karena mengingat dosa?

  • Kapan terakhir kali kita benar-benar merasa takut akan kematian?

Kita menangis ketika kehilangan uang, tapi jarang menangis karena kehilangan waktu untuk ibadah. Kita gelisah jika status media sosial tak banyak mendapat "like", tapi jarang resah saat salat kita tergesa-gesa.

Bukankah ini tanda bahwa hati kita mulai kebas terhadap akhirat?


Pelajaran dari Sahabat Nabi

Lihatlah kisah Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Suatu malam beliau menangis tersedu-sedu. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab:

“Aku teringat ayat ini:
‘Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tak seorang pun dapat menolaknya.’ (QS. Ath-Thur [52]: 7-8)

Umar bin Khattab — seorang amirul mukminin, yang dijamin masuk surga — justru menangis karena takut azab Allah. Sedangkan kita, yang belum tentu, justru sering lalai.


Dunia Digital, Overthinking Tak Berujung

Di era media sosial, overthinking dunia menjadi semakin parah. Kita bangun tidur, langsung membuka layar. Kita merasa kurang hanya karena orang lain tampak lebih bahagia, lebih sukses, lebih kaya. Kita memikirkan pencitraan lebih dari substansi.

Notifikasi demi notifikasi membuat kita gelisah secara kolektif. Kita ingin terlihat sempurna, tapi justru kehilangan kedamaian. Akhirat perlahan terpinggirkan, karena perhatian kita habis untuk dunia maya.

Pertanyaannya:
Apakah semua itu sepadan dengan waktu hidup kita yang singkat?


Cara Menyeimbangkan Dunia dan Akhirat

Islam tidak melarang kita mencintai dunia, tetapi mengajarkan agar dunia tidak mengikat hati. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.”
(HR. Bukhari)

Artinya, dunia ini hanyalah persinggahan singkat. Kita boleh mengejar kesuksesan, tapi hati jangan terikat. Kita boleh bekerja keras, tapi jangan lupa bahwa ujung perjalanan adalah kembali kepada Allah.


Tips Praktis Mengurangi Overthinking Dunia

  1. Latih kesadaran hati (muraqabah)

    • Sadari bahwa Allah selalu melihat kita, bahkan di balik layar smartphone.

  2. Perbanyak dzikir dan tilawah

    • Dzikir menenangkan hati, tilawah melembutkan rasa iman.

  3. Tetapkan prioritas amal

    • Bedakan antara “penting” dan “mendesak”. Dunia sering mendesak, akhirat selalu penting.

  4. Batasi paparan media sosial

    • Kurangi konten pemicu kecemasan, perbanyak konsumsi ilmu dan hikmah.

  5. Luangkan waktu untuk tafakur

    • Ambil jeda hening setiap hari, renungkan siapa diri kita dan ke mana arah hidup ini.

  6. Perbanyak doa

    • Mohonlah kepada Allah agar hati dilunakkan dan pikiran dijernihkan.


Pertanyaan Reflektif untuk Hati

  • “Apakah aku lebih takut kehilangan pekerjaan daripada kehilangan salat?”

  • “Apakah aku lebih sibuk memoles dunia daripada mempersiapkan akhirat?”

  • “Apakah aku bahagia secara lahiriah, tetapi kering secara batiniah?”

Jika pertanyaan ini membuatmu diam sejenak, itu pertanda hati sedang memanggilmu.


Ajakan Introspektif

Dunia adalah tempat singgah, bukan tempat tinggal. Kita sering kali mengikatkan diri pada yang sementara, dan melupakan yang abadi.

“Kita memikirkan dunia seakan-akan kita hidup selamanya,
padahal kita melupakan akhirat seakan-akan kita tidak akan mati.”

Hari ini, mari perlambat langkah. Beri ruang untuk hati, beri waktu untuk iman. Dunia akan berlalu, akhirat menunggu.


Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh


📖 Baca juga:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

🕌Keutamaan Membaca Shalawat Nabi ﷺ

✨ Syekh Yusuf al-Makassari: Ulama Pejuang dari Sulawesi yang Harumnya Menembus Dunia

🕌 Makna Tauhid dalam Kehidupan Modern: Kembali ke Poros yang Tak Pernah Bergeser