🌌FOMO di Era Digital – Cara Islami Mengatasinya

Ilustrasi Islami FOMO di era digital, pemuda cemas karena notifikasi media sosial di satu sisi dan tenang berdoa di sisi lain

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh,

FOMO di Era Digital – Refleksi Islami untuk Mengatasi Takut Ketinggalan

Pernahkah kamu merasa gelisah ketika melihat story teman yang sedang berlibur, postingan orang yang baru membeli barang mahal, atau kabar tren terbaru yang belum sempat kamu ikuti? Rasa takut ketinggalan, atau yang populer disebut FOMO (Fear of Missing Out), kini menjadi fenomena sehari-hari di era digital.

Riset menyebutkan, hampir 70% pengguna media sosial pernah merasakan kecemasan karena FOMO. Ia hadir dalam bentuk sederhana: takut tidak tahu kabar terkini, takut tertinggal tren, takut tidak diakui dalam lingkaran sosial. Namun lama-lama, perasaan ini bisa menguras energi, membuat cemas, bahkan memicu rasa iri dan rendah diri.

Islam sejak lama mengajarkan jalan keluar: bukan dengan mengejar semua hal, tetapi dengan merasa cukup dan menata hati.


FOMO: Kecemasan Modern yang Nyata

Psikologi menjelaskan, FOMO muncul dari kecemasan sosial—ketakutan bahwa orang lain mendapatkan pengalaman lebih berharga daripada kita.

  • Media sosial memperkuatnya: kita melihat puncak kebahagiaan orang lain, tanpa tahu perjuangan di balik layar.

  • Perbandingan sosial (social comparison) membuat kita merasa selalu kurang.

  • Pada akhirnya, kita jadi sibuk mengejar validasi, bukan makna hidup.

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan janganlah melihat kepada orang yang berada di atasmu. Karena itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim)

Hadis ini memberi resep sederhana: alih fokus. Jangan terus-menerus menatap ke atas, karena di bawah ada begitu banyak nikmat yang layak kita syukuri.


Dampak FOMO pada Kehidupan

  1. Kesehatan mental terganggu. Rasa cemas, gelisah, hingga depresi ringan.

  2. Hubungan menjadi dangkal. Alih-alih hadir, kita sibuk membandingkan.

  3. Ibadah kehilangan kekhusyukan. Pikiran bercabang: “Apa yang orang lain lakukan sekarang?”

  4. Hidup terasa kosong. Semakin banyak tahu, semakin merasa kurang.

Sosiolog menyebut fenomena ini sebagai budaya cemas kolektif. Kita hidup di era “berisik”, di mana keheningan seolah menjadi barang mewah.


Perspektif Islami: Obat FOMO Adalah Qanā‘ah

Dalam tradisi Islam, ada konsep qanā‘ah—merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Inilah lawan dari FOMO.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis: “Barangsiapa yang merasa cukup, maka ia adalah orang kaya yang sebenarnya.”

Dengan qanā‘ah, kita tidak sibuk menatap apa yang belum dimiliki, tetapi menikmati apa yang sudah ada.

QS. Al-Hadid: 20 mengingatkan:

“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, bermegah-megahan di antara kalian, dan berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak...”

Ayat ini bukan sekadar peringatan, melainkan obat agar hati tidak larut dalam pusaran FOMO.


Langkah Praktis Mengatasi FOMO dengan Spiritualitas

  1. Dzikir harian. Menyebut nama Allah membuat hati kembali tenang (QS. Ar-Ra’d: 28).

  2. Muhasabah sebelum tidur. Tanyakan: apa yang benar-benar penting hari ini?

  3. Digital sabbatical. Sisihkan satu hari tanpa media sosial, hadir penuh untuk diri sendiri dan keluarga.

  4. Bersyukur tertulis. Catat tiga hal kecil yang patut disyukuri setiap hari.

  5. Batasi perbandingan. Ingat: media sosial hanya potongan terbaik hidup orang lain, bukan realitas sepenuhnya.


Checklist 7 Hari Bebas FOMO

  • Hari 1: Matikan notifikasi media sosial. Rasakan ketenangan.

  • Hari 2: Habiskan satu jam tanpa gawai. Duduk bersama keluarga.

  • Hari 3: Tuliskan 5 nikmat sederhana yang kau rasakan hari ini.

  • Hari 4: Saat melihat postingan orang lain, ucapkan doa kebaikan untuknya.

  • Hari 5: Baca Al-Qur’an 10 menit sebelum tidur, bukan timeline.

  • Hari 6: Berbagi cerita nyata dengan teman tanpa foto atau status.

  • Hari 7: Renungkan: apa yang hilang dari dirimu jika terus mengejar validasi?


Pertanyaan Reflektif

  • Apakah aku sibuk mengejar validasi manusia, atau ridha Allah?

  • Apakah aku lebih sering bersyukur, atau merasa tertinggal?

  • Apa arti “cukup” bagiku hari ini?


Penutup ✨

FOMO hanyalah cermin kegelisahan jiwa. Semakin kita kejar, semakin terasa jauh. Islam memberi obatnya: hadir, bersyukur, dan merasa cukup.

Ketenangan sejati bukan saat kita tahu segalanya, melainkan saat kita yakin bahwa bersama Allah, kita tidak kehilangan apa pun yang penting.

Bagikan refleksi ini jika kamu pernah merasakan FOMO—dan ingin mengubahnya menjadi syukur dan ketenangan hati.

Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh


Referensi

  1. Al-Qur’an, QS. Al-Hadid: 20; QS. Ar-Ra’d: 28.

  2. Hadis Rasulullah ﷺ tentang memandang ke bawah, HR. Muslim.

  3. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, bab tentang qanā‘ah.

  4. Przybylski, A.K., et al. (2013). Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior.

  5. Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations.

  6. Harvard Business Review (2018). Why We Experience FOMO and How to Overcome It.

                                                    


📖 Baca juga:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

🕌Keutamaan Membaca Shalawat Nabi ﷺ

✨ Syekh Yusuf al-Makassari: Ulama Pejuang dari Sulawesi yang Harumnya Menembus Dunia

🕌 Makna Tauhid dalam Kehidupan Modern: Kembali ke Poros yang Tak Pernah Bergeser